Dalam abad ketiga sebelum masehi, orang terpelajar Yunani, Eratosthenes, melihat bahwa sebuah tongkat yang ditegakkan di tempat yang disebut Syrene, tidak memiliki bayang-bayang tepat pada siang hari. Dari pengamatan atas gejala fisik riil ini, ia menyimpulkan bahwa bumi bulat. Ia kemudian mengirim seorang budak dari Alexandria ke Syrena untuk mengukur jarak antar kedua kota. Lalu, dengan menggunakan geometri yang sederhana, ia menghitung keliling bumi. Inilah bekerjanya secara nyata satu metode ilmiah. Ini adalah satu campuran antara pengamatan, hipotesis dan argumen matematik. Eratosthenes mulai dengan pengamatan (baik dilakukan sendiri maupun oleh orang lain). Lalu, berdasarkan ini, ia menarik satu kesimpulan umum, hipotesis bahwa bumi ini permukaannya melengkung. Ia kemudian menggunakan matematika untuk memberi bentuk utuh dari teorinya.

Pencapaian brilian dari ilmu pengetahuan Alexandria telah ditutup oleh bangkitnya Kristianitas pada Jaman Kegelapan. Selama berabad-abad, perkembangan ilmu pengetahuan dilumpuhkan oleh kediktatoran spiritual dari Gereja. Hanya dengan membebaskan dirinya dari pengaruh agama, ilmu pengetahuan mampu berkembang. Namun, melalui puntiran sejarah yang aneh, pada akhir abad ke-20 berbagai upaya yang bertenaga telah dibuat untuk menarik mundur ilmu pengetahuan. Segala macam kuasi-religius dan ide-ide mistis bertebaran di udara.
Gejala aneh ini berkaitan dengan dua hal. Pertama, pembagian kerja telah dilakukan pada tingkat yang demikian ekstrim sehingga ia mulai melahirkan berbagai bahaya. Spesialisasi yang sempit, reduksionisme dan perceraian yang hampir sempurna antara sisi teori dengan eksperimen pada fisika telah membawa akibat-akibat yang paling negatif.

Kedua, tidak ada satu filsafat yang cukup kuat untuk membantu menunjukkan jalan yang tepat bagi ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan sudah berantakan. Ini tidak mengherankan karena apa yang kini disebut "filsafat ilmu" - atau mungkin lebih tepat disebut sekte filsafat positivisme logis yang menganugerahi dirinya sendiri dengan gelar itu - justru adalah yang paling tidak sanggup membantu ilmu pengetahuan untuk keluar dari kesulitan-kesulitan ini. Sebaliknya, ia justru telah membuat segalanya menjadi lebih buruk. Dalam dasawarsa belakangan ini, kita telah melihat satu kecenderungan yang semakin besar dalam fisika teoritik untuk mendekati gejala-gejala dunia alami dari sudut pandang matematik yang keterlaluan abstraknya. Jelas halnya demikian dalam kasus upaya ngawur untuk merekonstruksi apa yang disebut awal jagad raya. Seperti yang ditunjukkan Anderson dalam sebuah artikel yang ditulis di tahun 1972:
"Kemampuan untuk mereduksi segala sesuatu menjadi hukum-hukum dasar yang sederhana tidaklah mengakibatkan kemampuan untuk berangkat dari hukum-hukum itu untuk merekonstruksi jagad raya. Nyatanya, semakin banyak yang dikatakan para fisikawan partikel elementer pada kita tentang sifat-sifat hukum dasar, semakin tidak relevan hukum-hukum itu terhadap masalah-masalah yang sangat nyata yang dihadapi bidang-bidang ilmu lainnya, apalagi terhadap masyarakat.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir telah tertanam dalam-dalam sebuah prasangka bahwa ilmu "murni", khususnya fisika teoritik adalah hasil dari pemikiran abstrak dan deduksi matematik semata. Seperti yang dijelaskan Eric Lerner, Einstein turut pula bertanggung jawab untuk kecenderungan ini. Tidak seperti teori-teori sebelumnya, seperti hukum elektromagnetik Maxwell, atau hukum gravitasi Newton, yang memiliki dasar yang kokoh dalam percobaan-percobaan, dan segera dibenarkan oleh ribuan pengamatan terpisah, teori Einstein mulanya hanya dibenarkan berdasarkan dua hal saja - pembelokan cahaya oleh medan gravitasi matahari dan penyimpangan kecil dari orbit Merkurius. Fakta bahwa teori relativitas kemudian dibuktikan tepat telah mendorong orang lain, yang mungkin tidak setingkat dengan kejeniusan Einstein, untuk menganggap bahwa inilah cara untuk melangkah maju. Mengapa perlu repot-repot dengan percobaan yang makan waktu? Sungguh, mengapa perlu bergantung pada bukti fisik yang dapat diraba, kalau kita dapat langsung menuju kebenaran melalui metode deduksi murni?

Kita harus mengingatkan diri sendiri bahwa terobosan besar dalam ilmu pengetahuan datang di masa Pencerahan, ketika ia memisahkan diri dari ide-ide mistik-religius, dan mulai mendasarkan dirinya pada pengamatan dan percobaan, berangkat dari dunia material yang nyata, dan selalu kembali ke sana. Di abad ke-20, telah terjadi satu kemunduran menuju idealisme, baik Platonisme ataupun yang lebih buruk lagi, pada idealisme subjektif dari Berkeley dan Hume. Walaupun kejeniusannya tak dapat dipertanyakan lagi, Einstein masih tidak sanggup melepaskan diri dari kecenderungan ini, sekalipun ia seringkali terkejut oleh konsekuensi yang mengalir daripadanya. Kita masih harus berterimakasih padanya, misalnya, bahwa ia melancarkan penjagaan garis belakang yang keras kepala melawan interpretasi idealis subjektif Heisenberg terhadap mekanika kuantum.

Seperti banyak ilmuwan lain, Einstein tidak merasa nyaman dengan filsafat, dan dengan jujur mengakui bahwa ilmuwan-ilmuwan besar cenderung bukanlah filsuf ilmu yang baik. Walau demikian, ia sendiri membuat sejumlah pernyataan yang bersifat filsafati atau semi-filsafati, yang, karena prestise raksasa yang dimilikinya, pastilah dianggap serius oleh banyak ilmuwan - dengan beberapa hasil yang patut disayangkan. Di tahun 1934, misalnya, ia menulis:
"Teori relativitas adalah satu contoh yang baik atas ciri dasar perkembangan modern ilmu teoritik. Hipotesis yang dipakainya untuk berangkat semakin hari semakin abstrak dan tercerai dari pengalaman. Seorang ilmuwan teoritik semakin hari semakin diharuskan untuk menuntun dirinya dengan pertimbangan-pertimbangan yang murni matematik dan formal dalam pencariannya atas sebuah teori, karena pengalaman fisik dari pelaku percobaan tidaklah dapat mengangkatnya ke dalam wilayah abstraksi yang tertinggi. Metode induktif yang dominan pada masa muda ilmu pengetahuan kini menyerahkan kedudukannya pada deduksi tentatif.

Pada kenyataannya, tidaklah benar bahwa Einstein sampai pada teorinya melalui proses argumen dan deduksi murni. Seperti yang dinyatakannya sendiri dalam bukunya Essays in Science, teori relativitas khususnya diturunkan dari karya Marxwell tentang listrik dan magnet, yang, pada gilirannya, didasarkan pada karya Faraday, yang memiliki landasan eksperimen yang kokoh. Baru setelah 1915, ketika ia berpaling pada kosmologi, Einstein berpaling pada metode deduksi abstrak untuk mendapatkan hasil-hasilnya. Di sini ia berpisah dari metode yang dominan, yakni dengan mengambil satu asumsi sebagai hipotesis dasarnya, asumsi yang bertentangan dengan pengamatan: paham bahwa jagad secara umum adalah homogen (terdistribusi merata dalam ruang).

Berangkat dari proposisi ini, Einstein menggunakan teori relativitas umumnya untuk membuktikan bahwa ruang adalah berhingga. Menurut pandangan ini, semakin besar massa dari sebuah kerapatan tertentu, semakin ia "memuntir ruang". Massa yang cukup besar akan membawa pada satu situasi di mana ruang terpuntir ke dalam dirinya sendiri sepenuhnya, menghasilkan sebuah "jagad yang tertutup". Ini merupakan, pada hakikatnya, satu kemunduran pada cara pandang abad pertengahan akan sebuah jagad yang berhingga, yang sebelumnya ditolak dengan alasan tidak ilmiah. Namun, di tahun 1915 sekalipun, telah terdapat cukup bukti bahwa jagad tidaklah homogen. Teori bertabrakan dengan fakta yang ditetapkan melalui pengamatan. Bukan satu kebetulan bahwa pencarian Einstein terhadap teori gabungan atas gravitasi dan elekromagnetik, yang dilakukannya selama tigapuluh tahun terakhir hidupnya, menemui kegagalan, seperti yang diakuinya sendiri.
Batasan bagi Empirisisme

Filsafat sejati berakhir dengan Hegel. Sejak itu kita hanya melihat satu kecenderungan untuk mengulang ide-ide lama, kadangkala mengisi rincian di sana-sini, tapai tidak ada lagi terobosan besar, tidak ada ide-ide gemilang baru. Ini sama sekali tidak mengejutkan. Perkembangan ilmu pengetahuan yang tak tertandingi selama seratus tahun terakhir telah membuat filsafat, dalam makna kunonya, menjadi pengulangan yang sia-sia. Hampir tidak ada gunanya berspekulasi tentang ciri jagad raya ketika kita berada pada posisi mampu mengungkapkan rahasianya dengan bantuan teleskop yang semakin hari semakin kuat, pesawat penjelajah antariksa, komputer dan akselerator partikel. Sebagaimana perdebatan tentang sifat tata-surya dihentikan oleh teleskop Galileo, demikian pula kemajuan teknik akan menjawab pertanyaan tentang sejarah jagad raya, sambil menyajikan pertanyaan baru untuk dipecahkan oleh generasi mendatang.

Engels menulis,
"Segera setelah tiap ilmu yang terpisah dituntut untuk memperjelas posisinya dalam totalitas yang besar ini, dan akan pengetahuan kita atas segala hal, satu ilmu khusus yang berurusan dengan totalitas ini adalah pengulangan yang sia-sia. Apa yang tersisa dari keadaan independen dari filsafat terdahulu adalah ilmu berpikir dan hukum-hukumnya - logika formal dan dialektika. Yang lainnya melebur ke dalam ilmu positif tentang alam dan sejarah.

Namun filsafat tetap memiliki peran yang harus dimainkan, dalam dua wilayah yang tersisa baginya - logika formal dan dialektika. Ilmu pengetahuan, seperti yang telah kita lihat, bukanlah sekedar berurusan dengan pengumpulan fakta. Ia tetap menuntut campur-tangan aktif dari pemikiran, hanya pemikiranlah yang dapat menemukan makna yang terkandung di dalam fakta-fakta itu, keteraturannya. Masih tetap perlu untuk membuat hipotesis, yang dapat menuntun penyelidikan kita pada jalur-jalur yang paling membuahkan hasil, untuk memahami kesalingterhubungan riil antara apa yang nampaknya merupakan gejala-gejala yang saling tak berhubungan, untuk melahirkan keteraturan dari kekacauan. Hal ini membutuhkan pelatihan dan satu pengetahuan yang menyeluruh baik atas sejarah ilmu maupun filsafat. Seperti yang dikemukakan filsuf Amerika, George Santayana, "Orang yang tidak belajar dari sejarah ditakdirkan untuk mengulanginya." Salah satu dari konsekuensi yang paling berbahaya dari pengaruh positivisme logis pada ilmu pengetahuan abad ke-20 adalah bahwa semua aliran besar di masa lampau telah diperlakukan sebagai bangkai anjing. Kini kita lihat ke mana sikap seperti ini membawa kita. Mereka yang dengan sombong meremehkan "metafisika" telah dihukum karena kesombongan mereka. Belum pernah terjadi dalam sejarah ilmu pengetahuan, satu ketika di mana metafisika demikian berjaya seperti sekarang.

Aliran pemikiran yang murni empirik niscaya akan jatuh ke sini, seperti yang telah ditunjukkan oleh Engels jauh-jauh hari:
"Empirisme semata, yang paling-paling hanya mengijinkan dirinya berpikir dalam bentuk perhitungan matematik, berkhayal bahwa dirinya bekerja hanya dengan fakta-fakta yang tak terbantahkan. Nyatanya, ia bekerja terutama dengan paham-paham tradisional, dengan hasil-hasil pemikiran yang kebanyakan telah usang, demikianlah halnya dengan kelistrikan positif dan negatif, akan pemisahan kekuatan listrik, teori kontak. Paham-paham ini menyajikannya sebagai landasan dari sejumlah tak terhingga perhitungan matematik di mana, karena keketatan rumus matematikanya, sifat hipotetis dari premis-premisnya terlupakan begitu saja. Jenis empirisme seperti ini bersikap lugu terhadap hasil-hasil pemikiran para pendahulunya sebagaimana ia bersikap skeptis terhadap hasil-hasil pemikiran sejamannya. Baginya, bahkan fakta-fakta yang ditetapkan melalui pengamatan secara bertahap menjadi tidak terpisahkan dari interpretasi tradisionalnya.... Mereka harus bersandar pada segala macam manuver dan kebijaksanaan usang, pada pulasan atas segala kontradiksi yang tak terpecahkan, dan akhirnya mendaratkan diri mereka ke dalam serangkaian kontradiksi yang membelenggu mereka tanpa dapat dilepas lagi."[ix]

Mustahil bagi para ilmuwan untuk terus memisahkan diri dari masyarakat, berdasarkan anggapan bahwa mereka murni tidak berpihak. Tidak ada seorangpun dari kita yang hidup di ruang hampa. Seperti yang dikatakan ahli genetika Amerika Theodosius Dobzhansky:
"Para ilmuwan sering memiliki kepercayaan naif bahwa jika saja mereka dapat menemukan cukup banyak fakta mengenai satu masalah, maka fakta-fakta itu akan dengan satu atau lain cara mengatur diri mereka sendiri dalam sebuah penyelesaian yang tepat dan tak terbantahkan. Hubungan antara penemuan ilmiah dan kepercayaan populer, bagaimanapun, bukanlah sebuah jalan satu arah. Kaum Marxis lebih sering benar ketika mereka menyatakan bahwa masalah-masalah yang dipilih para ilmuwan untuk dipecahkan, cara mereka mengupayakan pemecahannya, dan bahkan pemecahan yang cenderung mereka terima, dikondisikan oleh lingkungan intelekual, sosial dan ekonomi di mana mereka hidup dan bekerja.

Kadang kala orang mengatakan bahwa Marx dan Engels menganggap dialektika sebagai sesuatu yang Mutlak - otoritas tertinggi dalam pengetahuan manusia. Paham seperti ini jelas berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Dialektika Marxian berbeda dari Hegelian dalam dua cara yang mendasar. Pertama, ia adalah satu filsafat yang materialis, dan dengan demikian menurunkan kategori-kategorinya dari dunia realitas fisik. Alam ini tidak berhingga, tidak tertutup. Seperti itu pula kebenaran itu, tidak berhingga dan tidak dapat disimpulkan dalam sebuah sistem tunggal yang telah mencakup segalanya. Negasi dari negasi, seperti Engels sendiri jelaskan, adalah sejenis perkembangan yang spiral - satu sistem yang ujungnya terbuka, bukan dalam lingkaran yang tertutup. Itulah perbedaan mendasar kedua dengan filsafat Hegelian, yang akhirnya menentang dirinya sendiri karena ia mencoba menyatakan dialektika sebagai sebuah sistem yang tertutup dan mutlak.

Marx dan Engels menciptakan garis besar dari metode dialektik yang baru, yang kegunaannya telah ditunjukkan dengan gemilang dalam ketiga jilid Capital. Tapi, kemajuan yang luar biasa ilmu pengetahuan di abad ke-20 telah menyediakan cukup banyak material untuk mengisi, mengembangkan dan memperluas cakupan dari dialektika. Perkembangan lebih jauh atas evolusi teori chaos and complexity akan menyediakan basis bagi perkembangan itu, yang akan merupakan keuntungan luar biasa baik bagi ilmu-ilmu alam maupun sosial. Dengan demikian kita tidaklah dapat mengatakan bahwa materialisme dialektik tidak akan pernah disalip oleh cara berpikir yang lebih baru dan memuaskan. Tapi kita pasti akan dapat mengatakan bahwa sampai saat ini, ia adalah metode telaah ilmiah yang paling maju, menyeluruh dan lentur. Mari kita undang Engels bicara mewakili dirinya sendiri tentang hal ini:

"Lebih jauh, jika filsafat macam itu tidak diperlukan lagi, maka tidak ada sistem, bahkan sistem filsafat alami, yang tetap akan dibutuhkan. Pengakuan atas fakta bahwa segala proses alam adalah saling terhubung secara sistematis mendorong ilmu pengetahuan untuk membuktikan kesalingterhubungan sistematik ini di segala bidang, baik secara umum maupun rinci. Tapi satu penjelasan ilmiah yang cukup dan luas atas kesalingterhubungan ini, pembentukan citra mental yang akurat atas sistem dunia di mana kita hidup, tetaplah mustahil bagi kita, sebagaimana yang telah terjadi dan akan terjadi. Jika pada epos perkembangan umat manusia yang manapun satu sistem yang final dan definitif atas kesalingterhubungan di dunia - fisik dan juga mental dan historis - telah terbangun, artinya dunia pengetahuan manusia telah mencapai batasnya, dan bahwa perkembangan historis lebih jauh telah dihentikan pada saat masyarakat telah dibawa ke dalam kesesuaian dengan sistem - satu hal yang absurd, murni absurd.
"Umat manusia, dengan demikian, menemukan bahwa dirinya berhadapan dengan satu kontradiksi: di satu pihak, ia harus mendapatkan pengetahuan yang luas tentang sistem dunia dalam segala kesalingterhubungannya, dan di lain pihak, tugas ini tidak akan pernah diselesaikan dengan sempurna karena sifat dari manusia maupun sistem dunia itu sendiri. Namun kontradiksi ini bukan hanya terletak pada sifat dari kedua faktornya - dunia dan manusia - ia juga merupakan tuas utama bagi kemajuan intelektual, dan ia akan terus-menerus menemukan solusinya, hari demi hari, dalam perkembangan umat manusia yang progresif dan tanpa henti, sebagaimana yang dicontohkan oleh problem matematik yang menemukan jawabannya dalam satu deret tak berhingga atau pembagian yang berlangsung tanpa henti. Sebenarnya, tiap citra mental akan sistem dunia adalah terbatas, dan akan tetap demikian, secara objektif oleh situasi historis dan secara subjektif oleh keadaan mental dan fisik dari mereka yang menyitrakannya ke dalam tulisan.

0 komentar:

About Me

Foto Saya
Dunia Filsafat
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Join

Site Info

Add to Google Reader or Homepage
Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net Subscribe in Bloglines