Alam organik tumbuh dari alam tak hidup; alam yang hidup menghasilkan satu bentuk yang sanggup membuat pemikiran. Pertama-tama, kita memiliki materi, yang tidak dapat berpikir; dari mana tumbuh materi yang dapat berpikir, manusia. Jika memang ini yang terjadi - dan kita tahu bahwa demikianlah halnya, dari ilmu alam - jelaslah bahwa materi adalah ibu dari pikiran; bukan pikiran yang menjadi ibu dari materi. Anak-anak tidak pernah lebih tua dari orang tua mereka.
'Pikiran' datang belakangan, dan maka dari itu kita harus menganggapnya sebagai keturunan, dan bukan orang tua ... materi ada sebelum munculnya manusia yang berpikir; bumi ada jauh sebelum munculnya 'pikiran' apapun di permukaannya. Dengan kata lain, materi ada secara objektif, tidak tergantung dari 'pikiran'. Tapi gejala-gejala fisik, yang disebut 'pikiran' itu, tidak pernah dan tidak akan hadir tanpa materi. Pikiran tidak ada tanpa otak; nafsu adalah mustahil tanpa ada organisme yang memiliki nafsu itu .... Dengan kata lain; gejala fisik, gejala kesadaran, adalah sekedar ciri dari materi yang terorganisir dalam cara tertentu, satu 'fungsi' dari materi semacam itu." (Nikolai Bukharin)
"Interpretasi atas mekanisme otak merupakan satu dari misteri biologis yang terakhir, tempat pengungsian terakhir dari mistisme gelap dan filsafat religius yang penuh spekulasi." (Steven Rose)
Selama berabad-abad, seperti yang telah kita lihat, isu sentral dari filsafat adalah pernyataan tentang hubungan antara pikiran dan keberadaan. Kini, setelah menunggu begitu lama, langkah-langkah besar yang telah dibuat oleh ilmu pengetahuan mulai menyingkap sifat sejati dari pikiran dan bagaimana ia bekerja. Kemajuan-kemajuan ini menyediakan konfirmasi yang tegas terhadap cara pandang materialis. Hal ini demikian halnya terutama berkaitan dengan kontroversi antara otak dan neurobiologi. Tempat persembunyian terakhir bagi mistisisme kini tengah digempur habis-habisan, walau itu juga tidak dapat mencegah para idealis untuk melancarkan aksi-aksi garis belakang yang keras kepala, seperti yang ditunjukkan kutipan di bawah ini:
"Ketika menjadi mustahil untuk menyelidiki unsur-unsur non-material dari penciptaan ini, banyak orang kemudian mengabaikannya. Mereka berpikir bahwa hanya materilah yang riil. Maka pemikiran kita yang terdalam sekalipun harus direduksi menjadi bukan apa-apa selain hasil dari sel-sel otak yang bekerja menurut hukum-hukum kimia. ... Kita boleh menelaah respon elektrik otak yang mengiringi pikiran, tapi kita tidak dapat mereduksi Plato menjadi sekedar denyutan syaraf, atau Aristoteles menjadi sekedar gelombang alpha. ... Penggambaran tentang pergerakan fisik tidak akan pernah menyingkapkan makna pergerakan itu sendiri. Biologi hanya dapat menyelidiki dunia neuron dan sinapsis yang saling mengunci satu sama lain itu."[i]
Apa yang kita sebut "pikiran" adalah sekedar cara mengada dari otak. Tentu ini adalah satu gejala yang teramat rumit dan penuh komplikasi, hasil dari berjuta tahun evolusi. Kesulitan dalam menganalisa proses kompleks yang terjadi dalam otak dan sistem syaraf, dan kesalingterhubungan yang sama kompleksnya antara proses mental dan lingkungannya, bermakna bahwa pemahaman yang tepat atas sifat pikiran telah tertunda selama berabad-abad. Penundaan ini telah memungkinkan para idealis dan teolog untuk berspekulasi tentang sifat mistis dari apa yang mereka sebut "jiwa", yang dipandang sebagai sebuah zat non-material yang diijinkan untuk mengambil tempat sementara di dalam tubuh. Kemajuan neurobiologi modern berarti bahwa kaum idealis akhirnya mulai benar-benar diusir dari tempat pengungsian terakhir mereka. Sejalan dengan semakin terbukanya rahasia-rahasia di balik otak dan sistem syaraf, semakin mudahlah untuk menjelaskan pikiran, tanpa harus menyandarkan diri pada agen-agen supernatural, sebagai jumlah total dari aktivitas otak.
Mengutip ahli neurobiologi Steven Rose, pikiran dan kesadaran adalah
"... konsekuensi yang niscaya dari evolusi struktur otak tertentu yang berkembang dalam serangkaian perubahan evolusioner dalam yang ditempuh oleh kemunculan umat manusia ... kesadaran adalah satu konsekuensi dari evolusi dari satu tingkatan kompleksitas dan derajat interaksi tertentu di antara sel-sel syaraf (neuron) dari vorteks serebral, sementara bentuk yang diambilnya telah dimodifikasi secara mendasar bagi tiap otak individual oleh perkembangannya dalam hubungannya dengan lingkungannya
Read More - Teka-teki Tentang Otak
Dalam abad ketiga sebelum masehi, orang terpelajar Yunani, Eratosthenes, melihat bahwa sebuah tongkat yang ditegakkan di tempat yang disebut Syrene, tidak memiliki bayang-bayang tepat pada siang hari. Dari pengamatan atas gejala fisik riil ini, ia menyimpulkan bahwa bumi bulat. Ia kemudian mengirim seorang budak dari Alexandria ke Syrena untuk mengukur jarak antar kedua kota. Lalu, dengan menggunakan geometri yang sederhana, ia menghitung keliling bumi. Inilah bekerjanya secara nyata satu metode ilmiah. Ini adalah satu campuran antara pengamatan, hipotesis dan argumen matematik. Eratosthenes mulai dengan pengamatan (baik dilakukan sendiri maupun oleh orang lain). Lalu, berdasarkan ini, ia menarik satu kesimpulan umum, hipotesis bahwa bumi ini permukaannya melengkung. Ia kemudian menggunakan matematika untuk memberi bentuk utuh dari teorinya.

Pencapaian brilian dari ilmu pengetahuan Alexandria telah ditutup oleh bangkitnya Kristianitas pada Jaman Kegelapan. Selama berabad-abad, perkembangan ilmu pengetahuan dilumpuhkan oleh kediktatoran spiritual dari Gereja. Hanya dengan membebaskan dirinya dari pengaruh agama, ilmu pengetahuan mampu berkembang. Namun, melalui puntiran sejarah yang aneh, pada akhir abad ke-20 berbagai upaya yang bertenaga telah dibuat untuk menarik mundur ilmu pengetahuan. Segala macam kuasi-religius dan ide-ide mistis bertebaran di udara.
Gejala aneh ini berkaitan dengan dua hal. Pertama, pembagian kerja telah dilakukan pada tingkat yang demikian ekstrim sehingga ia mulai melahirkan berbagai bahaya. Spesialisasi yang sempit, reduksionisme dan perceraian yang hampir sempurna antara sisi teori dengan eksperimen pada fisika telah membawa akibat-akibat yang paling negatif.

Kedua, tidak ada satu filsafat yang cukup kuat untuk membantu menunjukkan jalan yang tepat bagi ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan sudah berantakan. Ini tidak mengherankan karena apa yang kini disebut "filsafat ilmu" - atau mungkin lebih tepat disebut sekte filsafat positivisme logis yang menganugerahi dirinya sendiri dengan gelar itu - justru adalah yang paling tidak sanggup membantu ilmu pengetahuan untuk keluar dari kesulitan-kesulitan ini. Sebaliknya, ia justru telah membuat segalanya menjadi lebih buruk. Dalam dasawarsa belakangan ini, kita telah melihat satu kecenderungan yang semakin besar dalam fisika teoritik untuk mendekati gejala-gejala dunia alami dari sudut pandang matematik yang keterlaluan abstraknya. Jelas halnya demikian dalam kasus upaya ngawur untuk merekonstruksi apa yang disebut awal jagad raya. Seperti yang ditunjukkan Anderson dalam sebuah artikel yang ditulis di tahun 1972:
"Kemampuan untuk mereduksi segala sesuatu menjadi hukum-hukum dasar yang sederhana tidaklah mengakibatkan kemampuan untuk berangkat dari hukum-hukum itu untuk merekonstruksi jagad raya. Nyatanya, semakin banyak yang dikatakan para fisikawan partikel elementer pada kita tentang sifat-sifat hukum dasar, semakin tidak relevan hukum-hukum itu terhadap masalah-masalah yang sangat nyata yang dihadapi bidang-bidang ilmu lainnya, apalagi terhadap masyarakat.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir telah tertanam dalam-dalam sebuah prasangka bahwa ilmu "murni", khususnya fisika teoritik adalah hasil dari pemikiran abstrak dan deduksi matematik semata. Seperti yang dijelaskan Eric Lerner, Einstein turut pula bertanggung jawab untuk kecenderungan ini. Tidak seperti teori-teori sebelumnya, seperti hukum elektromagnetik Maxwell, atau hukum gravitasi Newton, yang memiliki dasar yang kokoh dalam percobaan-percobaan, dan segera dibenarkan oleh ribuan pengamatan terpisah, teori Einstein mulanya hanya dibenarkan berdasarkan dua hal saja - pembelokan cahaya oleh medan gravitasi matahari dan penyimpangan kecil dari orbit Merkurius. Fakta bahwa teori relativitas kemudian dibuktikan tepat telah mendorong orang lain, yang mungkin tidak setingkat dengan kejeniusan Einstein, untuk menganggap bahwa inilah cara untuk melangkah maju. Mengapa perlu repot-repot dengan percobaan yang makan waktu? Sungguh, mengapa perlu bergantung pada bukti fisik yang dapat diraba, kalau kita dapat langsung menuju kebenaran melalui metode deduksi murni?

Kita harus mengingatkan diri sendiri bahwa terobosan besar dalam ilmu pengetahuan datang di masa Pencerahan, ketika ia memisahkan diri dari ide-ide mistik-religius, dan mulai mendasarkan dirinya pada pengamatan dan percobaan, berangkat dari dunia material yang nyata, dan selalu kembali ke sana. Di abad ke-20, telah terjadi satu kemunduran menuju idealisme, baik Platonisme ataupun yang lebih buruk lagi, pada idealisme subjektif dari Berkeley dan Hume. Walaupun kejeniusannya tak dapat dipertanyakan lagi, Einstein masih tidak sanggup melepaskan diri dari kecenderungan ini, sekalipun ia seringkali terkejut oleh konsekuensi yang mengalir daripadanya. Kita masih harus berterimakasih padanya, misalnya, bahwa ia melancarkan penjagaan garis belakang yang keras kepala melawan interpretasi idealis subjektif Heisenberg terhadap mekanika kuantum.

Seperti banyak ilmuwan lain, Einstein tidak merasa nyaman dengan filsafat, dan dengan jujur mengakui bahwa ilmuwan-ilmuwan besar cenderung bukanlah filsuf ilmu yang baik. Walau demikian, ia sendiri membuat sejumlah pernyataan yang bersifat filsafati atau semi-filsafati, yang, karena prestise raksasa yang dimilikinya, pastilah dianggap serius oleh banyak ilmuwan - dengan beberapa hasil yang patut disayangkan. Di tahun 1934, misalnya, ia menulis:
"Teori relativitas adalah satu contoh yang baik atas ciri dasar perkembangan modern ilmu teoritik. Hipotesis yang dipakainya untuk berangkat semakin hari semakin abstrak dan tercerai dari pengalaman. Seorang ilmuwan teoritik semakin hari semakin diharuskan untuk menuntun dirinya dengan pertimbangan-pertimbangan yang murni matematik dan formal dalam pencariannya atas sebuah teori, karena pengalaman fisik dari pelaku percobaan tidaklah dapat mengangkatnya ke dalam wilayah abstraksi yang tertinggi. Metode induktif yang dominan pada masa muda ilmu pengetahuan kini menyerahkan kedudukannya pada deduksi tentatif.

Pada kenyataannya, tidaklah benar bahwa Einstein sampai pada teorinya melalui proses argumen dan deduksi murni. Seperti yang dinyatakannya sendiri dalam bukunya Essays in Science, teori relativitas khususnya diturunkan dari karya Marxwell tentang listrik dan magnet, yang, pada gilirannya, didasarkan pada karya Faraday, yang memiliki landasan eksperimen yang kokoh. Baru setelah 1915, ketika ia berpaling pada kosmologi, Einstein berpaling pada metode deduksi abstrak untuk mendapatkan hasil-hasilnya. Di sini ia berpisah dari metode yang dominan, yakni dengan mengambil satu asumsi sebagai hipotesis dasarnya, asumsi yang bertentangan dengan pengamatan: paham bahwa jagad secara umum adalah homogen (terdistribusi merata dalam ruang).

Berangkat dari proposisi ini, Einstein menggunakan teori relativitas umumnya untuk membuktikan bahwa ruang adalah berhingga. Menurut pandangan ini, semakin besar massa dari sebuah kerapatan tertentu, semakin ia "memuntir ruang". Massa yang cukup besar akan membawa pada satu situasi di mana ruang terpuntir ke dalam dirinya sendiri sepenuhnya, menghasilkan sebuah "jagad yang tertutup". Ini merupakan, pada hakikatnya, satu kemunduran pada cara pandang abad pertengahan akan sebuah jagad yang berhingga, yang sebelumnya ditolak dengan alasan tidak ilmiah. Namun, di tahun 1915 sekalipun, telah terdapat cukup bukti bahwa jagad tidaklah homogen. Teori bertabrakan dengan fakta yang ditetapkan melalui pengamatan. Bukan satu kebetulan bahwa pencarian Einstein terhadap teori gabungan atas gravitasi dan elekromagnetik, yang dilakukannya selama tigapuluh tahun terakhir hidupnya, menemui kegagalan, seperti yang diakuinya sendiri.
Batasan bagi Empirisisme

Filsafat sejati berakhir dengan Hegel. Sejak itu kita hanya melihat satu kecenderungan untuk mengulang ide-ide lama, kadangkala mengisi rincian di sana-sini, tapai tidak ada lagi terobosan besar, tidak ada ide-ide gemilang baru. Ini sama sekali tidak mengejutkan. Perkembangan ilmu pengetahuan yang tak tertandingi selama seratus tahun terakhir telah membuat filsafat, dalam makna kunonya, menjadi pengulangan yang sia-sia. Hampir tidak ada gunanya berspekulasi tentang ciri jagad raya ketika kita berada pada posisi mampu mengungkapkan rahasianya dengan bantuan teleskop yang semakin hari semakin kuat, pesawat penjelajah antariksa, komputer dan akselerator partikel. Sebagaimana perdebatan tentang sifat tata-surya dihentikan oleh teleskop Galileo, demikian pula kemajuan teknik akan menjawab pertanyaan tentang sejarah jagad raya, sambil menyajikan pertanyaan baru untuk dipecahkan oleh generasi mendatang.

Engels menulis,
"Segera setelah tiap ilmu yang terpisah dituntut untuk memperjelas posisinya dalam totalitas yang besar ini, dan akan pengetahuan kita atas segala hal, satu ilmu khusus yang berurusan dengan totalitas ini adalah pengulangan yang sia-sia. Apa yang tersisa dari keadaan independen dari filsafat terdahulu adalah ilmu berpikir dan hukum-hukumnya - logika formal dan dialektika. Yang lainnya melebur ke dalam ilmu positif tentang alam dan sejarah.

Namun filsafat tetap memiliki peran yang harus dimainkan, dalam dua wilayah yang tersisa baginya - logika formal dan dialektika. Ilmu pengetahuan, seperti yang telah kita lihat, bukanlah sekedar berurusan dengan pengumpulan fakta. Ia tetap menuntut campur-tangan aktif dari pemikiran, hanya pemikiranlah yang dapat menemukan makna yang terkandung di dalam fakta-fakta itu, keteraturannya. Masih tetap perlu untuk membuat hipotesis, yang dapat menuntun penyelidikan kita pada jalur-jalur yang paling membuahkan hasil, untuk memahami kesalingterhubungan riil antara apa yang nampaknya merupakan gejala-gejala yang saling tak berhubungan, untuk melahirkan keteraturan dari kekacauan. Hal ini membutuhkan pelatihan dan satu pengetahuan yang menyeluruh baik atas sejarah ilmu maupun filsafat. Seperti yang dikemukakan filsuf Amerika, George Santayana, "Orang yang tidak belajar dari sejarah ditakdirkan untuk mengulanginya." Salah satu dari konsekuensi yang paling berbahaya dari pengaruh positivisme logis pada ilmu pengetahuan abad ke-20 adalah bahwa semua aliran besar di masa lampau telah diperlakukan sebagai bangkai anjing. Kini kita lihat ke mana sikap seperti ini membawa kita. Mereka yang dengan sombong meremehkan "metafisika" telah dihukum karena kesombongan mereka. Belum pernah terjadi dalam sejarah ilmu pengetahuan, satu ketika di mana metafisika demikian berjaya seperti sekarang.

Aliran pemikiran yang murni empirik niscaya akan jatuh ke sini, seperti yang telah ditunjukkan oleh Engels jauh-jauh hari:
"Empirisme semata, yang paling-paling hanya mengijinkan dirinya berpikir dalam bentuk perhitungan matematik, berkhayal bahwa dirinya bekerja hanya dengan fakta-fakta yang tak terbantahkan. Nyatanya, ia bekerja terutama dengan paham-paham tradisional, dengan hasil-hasil pemikiran yang kebanyakan telah usang, demikianlah halnya dengan kelistrikan positif dan negatif, akan pemisahan kekuatan listrik, teori kontak. Paham-paham ini menyajikannya sebagai landasan dari sejumlah tak terhingga perhitungan matematik di mana, karena keketatan rumus matematikanya, sifat hipotetis dari premis-premisnya terlupakan begitu saja. Jenis empirisme seperti ini bersikap lugu terhadap hasil-hasil pemikiran para pendahulunya sebagaimana ia bersikap skeptis terhadap hasil-hasil pemikiran sejamannya. Baginya, bahkan fakta-fakta yang ditetapkan melalui pengamatan secara bertahap menjadi tidak terpisahkan dari interpretasi tradisionalnya.... Mereka harus bersandar pada segala macam manuver dan kebijaksanaan usang, pada pulasan atas segala kontradiksi yang tak terpecahkan, dan akhirnya mendaratkan diri mereka ke dalam serangkaian kontradiksi yang membelenggu mereka tanpa dapat dilepas lagi."[ix]

Mustahil bagi para ilmuwan untuk terus memisahkan diri dari masyarakat, berdasarkan anggapan bahwa mereka murni tidak berpihak. Tidak ada seorangpun dari kita yang hidup di ruang hampa. Seperti yang dikatakan ahli genetika Amerika Theodosius Dobzhansky:
"Para ilmuwan sering memiliki kepercayaan naif bahwa jika saja mereka dapat menemukan cukup banyak fakta mengenai satu masalah, maka fakta-fakta itu akan dengan satu atau lain cara mengatur diri mereka sendiri dalam sebuah penyelesaian yang tepat dan tak terbantahkan. Hubungan antara penemuan ilmiah dan kepercayaan populer, bagaimanapun, bukanlah sebuah jalan satu arah. Kaum Marxis lebih sering benar ketika mereka menyatakan bahwa masalah-masalah yang dipilih para ilmuwan untuk dipecahkan, cara mereka mengupayakan pemecahannya, dan bahkan pemecahan yang cenderung mereka terima, dikondisikan oleh lingkungan intelekual, sosial dan ekonomi di mana mereka hidup dan bekerja.

Kadang kala orang mengatakan bahwa Marx dan Engels menganggap dialektika sebagai sesuatu yang Mutlak - otoritas tertinggi dalam pengetahuan manusia. Paham seperti ini jelas berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Dialektika Marxian berbeda dari Hegelian dalam dua cara yang mendasar. Pertama, ia adalah satu filsafat yang materialis, dan dengan demikian menurunkan kategori-kategorinya dari dunia realitas fisik. Alam ini tidak berhingga, tidak tertutup. Seperti itu pula kebenaran itu, tidak berhingga dan tidak dapat disimpulkan dalam sebuah sistem tunggal yang telah mencakup segalanya. Negasi dari negasi, seperti Engels sendiri jelaskan, adalah sejenis perkembangan yang spiral - satu sistem yang ujungnya terbuka, bukan dalam lingkaran yang tertutup. Itulah perbedaan mendasar kedua dengan filsafat Hegelian, yang akhirnya menentang dirinya sendiri karena ia mencoba menyatakan dialektika sebagai sebuah sistem yang tertutup dan mutlak.

Marx dan Engels menciptakan garis besar dari metode dialektik yang baru, yang kegunaannya telah ditunjukkan dengan gemilang dalam ketiga jilid Capital. Tapi, kemajuan yang luar biasa ilmu pengetahuan di abad ke-20 telah menyediakan cukup banyak material untuk mengisi, mengembangkan dan memperluas cakupan dari dialektika. Perkembangan lebih jauh atas evolusi teori chaos and complexity akan menyediakan basis bagi perkembangan itu, yang akan merupakan keuntungan luar biasa baik bagi ilmu-ilmu alam maupun sosial. Dengan demikian kita tidaklah dapat mengatakan bahwa materialisme dialektik tidak akan pernah disalip oleh cara berpikir yang lebih baru dan memuaskan. Tapi kita pasti akan dapat mengatakan bahwa sampai saat ini, ia adalah metode telaah ilmiah yang paling maju, menyeluruh dan lentur. Mari kita undang Engels bicara mewakili dirinya sendiri tentang hal ini:

"Lebih jauh, jika filsafat macam itu tidak diperlukan lagi, maka tidak ada sistem, bahkan sistem filsafat alami, yang tetap akan dibutuhkan. Pengakuan atas fakta bahwa segala proses alam adalah saling terhubung secara sistematis mendorong ilmu pengetahuan untuk membuktikan kesalingterhubungan sistematik ini di segala bidang, baik secara umum maupun rinci. Tapi satu penjelasan ilmiah yang cukup dan luas atas kesalingterhubungan ini, pembentukan citra mental yang akurat atas sistem dunia di mana kita hidup, tetaplah mustahil bagi kita, sebagaimana yang telah terjadi dan akan terjadi. Jika pada epos perkembangan umat manusia yang manapun satu sistem yang final dan definitif atas kesalingterhubungan di dunia - fisik dan juga mental dan historis - telah terbangun, artinya dunia pengetahuan manusia telah mencapai batasnya, dan bahwa perkembangan historis lebih jauh telah dihentikan pada saat masyarakat telah dibawa ke dalam kesesuaian dengan sistem - satu hal yang absurd, murni absurd.
"Umat manusia, dengan demikian, menemukan bahwa dirinya berhadapan dengan satu kontradiksi: di satu pihak, ia harus mendapatkan pengetahuan yang luas tentang sistem dunia dalam segala kesalingterhubungannya, dan di lain pihak, tugas ini tidak akan pernah diselesaikan dengan sempurna karena sifat dari manusia maupun sistem dunia itu sendiri. Namun kontradiksi ini bukan hanya terletak pada sifat dari kedua faktornya - dunia dan manusia - ia juga merupakan tuas utama bagi kemajuan intelektual, dan ia akan terus-menerus menemukan solusinya, hari demi hari, dalam perkembangan umat manusia yang progresif dan tanpa henti, sebagaimana yang dicontohkan oleh problem matematik yang menemukan jawabannya dalam satu deret tak berhingga atau pembagian yang berlangsung tanpa henti. Sebenarnya, tiap citra mental akan sistem dunia adalah terbatas, dan akan tetap demikian, secara objektif oleh situasi historis dan secara subjektif oleh keadaan mental dan fisik dari mereka yang menyitrakannya ke dalam tulisan.
Read More - Apa Itu Metode Ilmiah ?
Asumsi dasar yang melatarbelakangi semua ilmu pengetahuan dan pemikiran rasional secara umum adalah bahwa dunia fisik ada, dan bahwa dimungkinkan bagi kita untuk memahami hukum-hukum yang mengatur realitas objektif. Sebagian besar ilmuwan menerima bahwa jagad diatur oleh hukum-hukum alam, satu fakta yang diungkapkan oleh Phillip Anderson:
"Sungguh, sulit untuk membayangkan bagaimana ilmu pengetahuan bisa ada jika mereka tidak menerima hal itu. Kepercayaan pada hukum alam adalah kepercayaan pada jagad ini pada akhirnya akan dapat dipahami - bahwa kekuatan yang menentukan takdir dari sebuah galaksi akan juga menentukan jatuhnya sebutir apel di bumi sini; bahwa atom yang memantulkan cahaya yang menerobos sebutir intan dapat juga membentuk bahan penyusun sel hidup; bahwa elektron, neutron dan proton yang muncul dari big bang kini dapat melahirkan otak manusia, pemikiran, dan jiwa. Kepercayaan pada hukum alam adalah kepercayaan pada kesatuan jagad ini di tingkat terdalam yang paling dimungkinkan.
Hal yang sama berlaku pula pada umat manusia secara umum. Tiap penemuan baru dari ilmu pengetahuan dan berbagai bidang teknik telah memperluas dan memperdalam pemahaman kita, tapi justru dengan demikian, juga menyajikan tantangan-tantangan baru. Tiap pertanyaan yang terjawab segera akan melahirkan dua pertanyaan baru. Seperti seorang pengembara yang, dengan kegairahan yang meluap, berjalan menuju cakrawala, hanya untuk menemukan bahwa cakrawala itu akan terus menjauh, memanggilnya dari kejauhan itu, demikian pula proses penemuan berjalan tanpa dapat melihat garis akhirnya. Para ilmuwan menyelam semakin dalam pada misteri dunia sub-atomik, dalam pencarian atas "partikel terakhir". Tapi tiap kali mereka mencapai cakrawala dengan teriakan kemenangan, cakrawala itu dengan keras kepala mundur kembali ke kejauhan.

Merupakan ilusi dari tiap epos bahwa ia adalah puncak tertinggi dari segala pencapaian dan kebijaksanaan manusia. Orang-orang Yunani kuno mengira bahwa mereka telah memahami segala hukum jagad berdasarkan geometri Euclides. Laplace mengira demikian pula dalam hubungannya dengan mekanika Newton. Di tahun 1880, kepala kantor hak paten Prusia menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat ditemukan telah diciptakan orang! Kini, para ilmuwan cenderung lebih memutar dalam pernyataan mereka. Sekalipun demikian asumsi-asumsi dibuat diam-diam bahwa, misalnya, teori relativitas umum Einstein adalah mutlak benar, dan prinsip ketidakpastian memiliki penerapan universal.

Sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan bagaimana ekonomisnya pemikiran manusia. Hanya sedikit saja yang terbuang dalam proses pembelajaran kolektif. Bahkan kesalahan sekalipun, ketika ditelaah secara jujur, dapat memainkan satu peran yang positif. Hanya ketika pemikiran dibekukan ke dalam dogma-dogma resmi, yang menganggap ide-ide baru sebagai hujatan yang harus dilarang dan dijatuhi sanksi, baru ketika itulah perkembangan pemikiran dilumpuhkan, bahkan dilemparkan ke belakang. Sejarah yang mengecewakan dari Abad Pertengahan yang Gelap merupakan bukti yang cukup tentang hal ini. Pencarian batu kebijaksanaan ("The philosopher's stone") didasarkan pada hipotesis yang keliru, namun para ahli alkimia tetap membuat penemuan-penemuan yang penting, dan meletakkan pondasi bagi perkembangan ilmu kimia modern. Teori ledakan besar, dengan pencariannya atas "awal waktu" yang hanya bayang-bayang itu, hampir-hampir tidak memiliki keabsahan ilmiah yang lebih tinggi daripada alkimia, namun, sekalipun demikian, tidak ada keraguan bahwa kemajuan-kemajuan besar telah, dan sedang, dikerjakan.

Seperti yang dilihat dengan tepat oleh Eric J. Lerner:
"Data yang baik, yang didapat dan ditelaah secara kompeten, selalu memiliki nilai ilmiah sekalipun teori yang mengilhaminya keliru. Teoritisi lain akan menemukan kegunaan untuk data itu, kegunaan yang sama sekali tidak terpikir ketika mereka pertama kali dikumpulkan. Bahkan dalam karya yang teoritik, upaya-upaya tulus untuk membandingkan satu teori dengan pengamatan hampir selalu terbukti berguna, tidak tergantung dari ketepatan teorinya: seorang teoritisi pastilah akan galau jika idenya keliru, tapi pencoretan terhadap satu kemungkinan yang keliru tidak dapat disebut membuang waktu.

Perkembangan ilmu pengetahuan melangkah maju melalui serangkaian pendekatan yang berlangsung bersinambungan. Tiap generasi sampai pada serangkaian generalisasi yang mendasar tentang bekerjanya alam, yang berguna untuk menjelaskan gejala-gejala teramati tertentu. Selalu hal ini dianggap sebagai kebenaran mutlak, sahih selamanya dalam "semua dunia yang mungkin ada"[1]. Walau demikian, setelah penelitian yang lebih dekat, mereka terbukti bukan mutlak, melainkan relatif. Pengecualian-pengecualian ditemukan, yang bertentangan dengan aturan-aturan yang baku, dan, pada gilirannya, menuntut satu penjelasan, dan demikian seterusnya sampai tak berhingga.
"Penemuan pertama adalah kesadaran bahwa tiap perubahan skala membawa gejala yang baru dan jenis perilaku yang baru pula. Bagi fisikawan partikel modern, proses ini tidak pernah berhenti. Tiap akselerator partikel yang baru, dengan peningkatan enerji dan kecepatan, telah memperluas bidang pandang ilmu pengetahuan pada partikel-partikel yang semakin kecil dan skala waktu yang semakin singkat, dan tiap perluasan kelihatannya selalu membawa informasi-informasi baru.

Apakah kita dengan demikian harus berputus asa bahwa kita tidak akan pernah mencapai kebenaran mutlak? Penyajian pertanyaan dengan cara ini menunjukkan ketidakpahaman akan hakikat kebenaran dan pengetahuan manusia. Maka Kant berpikir bahwa pikiran manusia hanya dapat memahami apa yang tampak. Di balik apa yang tampak itu, hadirlah Thing-In-Itself, hakikat segala sesuatu, yang tidak akan pernah dapat kita pahami. Terhadap hal ini, Hegel menjawab bahwa pengetahuan terhadap ciri-ciri sebuah hal adalah pengetahuan terhadap hal itu sendiri. Tidak ada tembok yang mutlak antara penampakan dan hakikat. Kita mulai dengan realitas yang menampakkan diri mereka pada kita melalui indera kita, tapi kita tidak berhenti di sini. Menggunakan nalar kita, kita menyelam semakin dalam ke dasar misteri materi, berpindah dari penampakan pada hakikat; dari yang khusus ke yang universal; yang sekunder menuju yang mendasar; dari fakta menuju hukum.

Dengan menggunakan terminologi yang digunakan Hegel untuk menjawab Kant, seluruh sejarah ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia secara umum adalah sebuah proses perubahan, dari Thing-In-Itself menjadi Thing-for-Us, dari hakikat benda-benda menuju apa yang berguna bagi kita. Dengan kata lain, apa "yang tidak dapat dipahami" pada satu tahap perkembangan ilmu pengetahuan akhirnya akan dapat dijelajahi dan dijelaskan. Tiap rintangan yang ditempatkan di jalur pemikiran akan diruntuhkan. Tapi, dengan memecahkan satu masalah, kita segera akan berhadapan dengan masalah-masalah baru yang harus pula dipecahkan, tantangan-tantangan baru yang harus diatasi. Dan proses ini tidak akan pernah berakhir, karena ciri-ciri dari jagad material sungguh adalah tak berhingga.

David Bohm menulis,
"Dengan mengikuti analogi ini lebih jauh, kita dapat mengatakan bahwa dengan memandang totalitas dari hukum alam kita tidak pernah memiliki cukup pandangan dan bidang irisan untuk dapat memberi kita pemahaman utuh atas totalitas ini. Tapi sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, dan pengembangan ilmu-ilmu baru, kita mendapatkan semakin banyak pandangan dari berbagai sisi, pandangan yang lebih menyeluruh, pandangan yang lebih rinci, dsb. Tiap teori atau penjelasan tertentu atas satu himpunan gejala yang tertentu pula hanya akan memiliki wilayah kesahihan yang terbatas dan hanya cukup untuk konteks tertentu dan di bawah kondisi yang terbatas. Hal ini berarti bahwa tiap teori yang diekstrapolasi pada konteks yang acak dan pada kondisi yang acak akan (seperti pandangan parsial kita atas objek) membawa kita pada peramalan-peramalan yang penuh kesalahan. Penemuan kesalahan semacam itu adalah salah satu dari cara yang terpenting untuk membuat kemajuan dalam ilmu pengetahuan.
"Sebuah teori baru, apa yang akhirnya akan dilahirkan dari penemuan kesalahan semacam itu, tidaklah merusak kesahihan teori yang lama. Melainkan, dengan memungkinkan satu perlakuan atas wilayah yang lebih luas daripada apa yang dapat ditangani oleh teori lama itu dan, dengan melakukan itu, ia membantu mendefinisikan satu kondisi di mana teori yang lama itu dapat mempertahankan kesahihannya (misalnya, seperti teori relativitas mengoreksi hukum Newton tentang gerak, dan dengan demikian membantu menetapkan batas-batas kondisi di mana hukum Newton berlaku yaitu di mana kecepatan relatif rendah dibandingkan dengan kecepatan cahaya). Maka, kita tidak berharap bahwa tiap hubungan kausal akan merupakan kebenaran mutlak; karena dengan melakukan ini, mereka akan diharuskan untuk dapat diterapkan tanpa pendekatan lagi dan tanpa pembatasan apapun. Melainkan, dengan demikian, kita melihat bahwa cara kemajuan ilmu pengetahuan adalah, dan selalu, melalui serangkaian pemahaman atas hukum alam yang semakin mendasar, luas dan akurat, setiap pemahaman memberi sumbangan pada penetapan kondisi-kondisi kesahihan dari pemahaman yang lebih dahulu (sebagaimana pandangan yang lebih luas dan rinci atas objek kita membantu memberi batasan atas pandangan atau himpunan pandangan tertentu).

Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, Profesor Thomas Kuhn menggambarkan sejarah ilmu pengetahuan sebagai revolusi teoritik berkala, memutus masa-masa panjang yang hanya diisi oleh perubahan kualitatif, yang diabdikan untuk mengisi rincian-rinciannya. Dalam masa-masa "normal" semacam itu, ilmu pengetahuan bekerja di dalam satu himpunan teori tertentu yang disebutnya paradigma, yang merupakan asumsi yang tidak dipertanyakan lagi tentang bagaimana adanya dunia ini. Pada awalnya, paradigma yang ada merangsang perkembangan ilmu pengetahuan, memberikan kerangka kerja yang koheren untuk penyelidikan. Tanpa kerangka kerja yang disepakati bersama-sama, para ilmuwan akan selamanya berdebat tentang hal-hal yang mendasar. Ilmu pengetahuan, tidak lebih dari masyarakat, tidak dapat hidup dalam masa-masa gejolak revolusioner yang permanen. Justru untuk alasan ini, revolusi adalah hal yang jarang terjadi, baik dalam masyarakat maupun dalam ilmu pengetahuan.

Selama beberapa waktu, ilmu pengetahuan dapat melangkah maju di atas jalur yang telah dikenal ini, sambil menumpuk hasil. Tapi, sementara itu, apa yang semula merupakan hipotesis baru yang berani akhirnya diubah menjadi ortodoksi yang kaku. Jika sebuah percobaan menghasilkan sesuatu yang bertentangan dengan teori yang ada, para ilmuwan mungkin menyembunyikannya, karena hasil-hasil itu dianggap subversif terhadap tatanan yang ada. Hanya ketika anomali itu bertumpuk sampai titik di mana mereka tidak lagi dapat diabaikan, ketika itulah landasan baru disiapkan untuk munculnya satu revolusi ilmiah, yang menggulingkan teori yang dominan dan membuka satu masa perkembangan ilmu pengetahuan "normal" yang baru, pada tingkat yang lebih tinggi.

Walaupun tentu sangat terlalu disederhanakan, gambaran tentang perkembangan ilmu pengetahuan ini, sebagai sebuah generalisasi yang luas, dapat dianggap benar. Dalam bukunya Ludwig Feuerbach, Engels menerangkan sifat dialektik dari perkembangan pikiran manusia, seperti yang ditunjukkan baik dalam sejarah ilmu pengetahuan maupun filsafat:

"Kebenaran, yang merupakan tugas filsafat untuk mengenalinya, di tangan Hegel tidak lagi menjadi satu kumpulan pernyataan dogmatik yang sempurna, yang, setelah ditemukan, tinggal dihafalkan saja. Kebenaran kini terletak dalam proses pengenalan kebenaran itu sendiri, dalam perkembangan panjang sejarah ilmu pengetahuan, yang bergerak dari tingkat pengetahuan rendah ke tinggi tanpa pernah mencapai, melalui penemuan dari apa yang disebut kebenaran mutlak, satu titik di mana ia tidak lagi dapat maju lebih jauh, di mana kita tidak lagi memiliki sesuatupun untuk dikerjakan selain berpangku tangan dan menatap dengan kagum pada kebenaran mutlak yang telah dimilikinya."

Lagi:
"Baginya, [filsafat dialektik] tidak sesuatupun yang final, mutlak, suci. Ia mengungkap sifat sementara dari segala sesuatu dan di dalam segala sesuatu; tidak ada yang dapat menahannya kecuali proses tanpa henti dari lahir dan mati, peningkatan bersinambung dari rendah ke tinggi. Dan filsafat dialektik itu sendiri bukanlah apa-apa selain satu cerminan dari proses ini, yang terjadi di dalam otak yang berpikir. Ia juga, tentu saja, memiliki sisi konservatif: ia mengakui bahwa berbagai tahap tertentu dari ilmu pengetahuan dan masyarakat dibenarkan bagi masa dan keadaan yang melingkupi mereka; tapi hanya sebegitu saja. Konservatisme dari cara pandang ini adalah relatif; sifat revolusionernya adalah mutlak - satu-satunya kemutlakan yang diakui oleh filsafat dialektik.
Read More - Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran Rasional

About Me

Foto Saya
Dunia Filsafat
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Join

Site Info

Add to Google Reader or Homepage
Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net Subscribe in Bloglines