Filsafat ilmu berkembang dari masa ke masa sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta realitas sosial. Dimulai dengan aliran rasionalisme-emprisme , kemudian kritisisme dan positivisme.
Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan dan analisis yang berdasarkan fakta. Paham ini menjadi salah satu bagian dari renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan terhadap gereja yang menyebar ajaran dengan dogma-dogma yang tidak bisa diterima oleh logika. Filsafat Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang jelas. Titik tolak pandangan ini didasarkan kepada logika matematika. Pandangan ini sangat popular pada abad 17. Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de Spinoza – biasa dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise Pascal (1623-1662).

Empirisisme adalah pencarian kebenaran melalui pembuktian-pembukitan indrawi. Kebenaran belum dapat dikatakan kebenaran apabila tidak bisa dibuktikan secara indrawi, yaitu dilihat, didengar dan dirasa. Francis Bacon (1561-1624) seorang filsuf Empirisme pada awal abad Pencerahan menulis dalam salah satu karyanya Novum Organum: Segala kebenaran hanya diperoleh secara induktif, yaitu melalui pengalamn dan pikiran yang didasarkan atas empiris, dan melalui kesimpulan dari hal yang khusus kepada hal yang umum. Empirisisme muncul sebagai akibat ketidakpuasan terhadap superioritas akal. Paham ini bertolak belakang dengan Rasionalisme yang mengutamakan akal. Tokoh-tokohnya adalah John Locke (1632-1704); George Berkeley (1685-1753); David Hume (1711-1776). Kebenaran dalam Empirisme harus dibuktikan dengan pengalaman. Peranan pengalaman menjadi tumpuan untuk memverifikasi sesuatu yang dianggap benar. Kebenaran jenis ini juga telah mempengaruhi manusia sampai sekarang ini, khususnya dalam bidang Hukum dan HAM.

Kedua aliran ini dibedakan lewat caranya untuk mencari kebenaran rasionalisme didominasi akal sementara empirisisme didominasi oleh pengalaman dalam pencarian kebenaran. Kedua aliran ini secara ekstrim bahkan tidak mengakui realitas di luar akal, pengalaman atau fakta. Superioritas akal menyebabkan agama dilempar dari posisi yang seharusnya. Agama didasarkan pada doktrin-dokrtin yang tidak bisa diterima oleh rasio sehingga tidak diterima oleh para pemegang paham rasionalisme dan empirisisme. Bukan berarti dogma yang diajarkan agama itu tidak benar, tapi rasio manusia masih terbatas untuk menguji kebenaran dogma Tuhan. Munculah aliran kritisisme sebagai jawaban dari rasionalisme dan empirisisme untuk menyelamatkan agama.

Kritisisme merupakan filsafat yang terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum melakukan pencarian kebenaran. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman (aposteriori).

Filsafat positivisme membatasi kajian filsafat ke hal-hal yang dapat di justifikasi (diuji) secara empirik. Hal-hal tersebut dinamakan hal-hal positif. Positivisme digunakan untuk merumuskan pengertian mengenai relaita sosial dengan Penjelasan ilmiah, prediksi dan control seperti yang dipraktekan pada fisika, kimia, dan biologi. Tahap penelitian positivisme dimulai dengan pengamatan, percobaan, generalisasi, produksi, manipulasi.

Krisis Sains
Perkembangan sains sampai ke abad 20 membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi pada kehidupannya. Level pemahaman terhadap alam mencapai tingkat level yang lebih tinggi. Pengamatan alam sudah sampai ke level mikroskopis, ternyata pengamatan pada level mikroskopis mementahkan hukum-hukum fisika yang pada saat itu menajdi pijakan ilmu fisika. Hukum-hukum fisika klasik seperti mekanika dan gravitasi dimentahkan oleh perilaku elektron dan proton yang acak tapi teratur. Penemuan-penemuan baru pada bidang fisika pada level mikroskopis merubah pandangan ilmuwan pada saat itu mengenai alam secara keseluruhan. Tenyata sains merupakan ilmu yang tidak pasti, ada ketidakpastian dalam kepastian terutama pada level mikroskopis dimana ketidakpastian itu semakin besar. Pada masa ini terjadi pergeseran paradigma dari paradigma Newtonian ke paradigm pos Newtonian. Perubahan paradigma ini merupakan revolusi pada bidang fisika, yang melahirkan tokoh-tokoh baru seperti Einstein dan Heisenberg
Objek
Paradigma Newtonian
Paradigma Pos Newtonian
Alam
Mesin
Sistem / jaringan
Fenomena objek
Interaksi benda
Transformasi objek
Ruang, waktu
Datar, tak berbatas
Melengkung, tak berbatas
Kekuatan alam
Determenistik, realistik
Indeterministik, anti-realistik
Werner Heisenberg mengajukan teori ketidakpastian yang menyatakan tidak mungkin mengukur secara teliti suatu partikel secara stimultan dalam ruang dan waktu. Teori ini bukan hanya menjungkirbalikan teori fisika klasik yang dikembangkan oleh Newton, namun juga mengubah cara pandang berbagai disiplin ilmu terhadap sifat alam yang tadinya dianggap determentstik (dapat ditentukan) menjadi indeterminsitik (tidak dapat ditentukan). Teori ini menjadi landasan fisika kuantum. Perubahan paradigma terhadap alam mengubah arah perkembangan teknologi. Namun perkembangan teknologi yang revolusioner malah menjadi petaka bagi seluruh umat manusia, puncaknya ketika Albert Einstein menemukan bom atom dan digunakan oleh manusia untuk menghancurkan kota Hirosima dan Nagasaki. Dunia terkejut oleh kemampuan sains yang bukan hanya memudahkan manusia, namun juga menghancurkan. Pada tahap ini mulai dipertanyakan peranan sains dalam menuju kehidupan manusia yang lebih baik. Kritik mulai dilontarkan terhadap sains karena ternyata kemajuan sains belum tentu memajukan kemanusiaan di muka bumi.

Cendawan atom dan korban Bom atom Hiroshima
Sains memiliki tiga sifat utama yaitu netral, humanistik dan universal. Namun pada perkembangannya ternyata sains tidak netral, humanistik dan universal. Sains sangat tergantung pada kondisi ekonomi, sehingga pemilik modal dapat mengarahkan perkembangan sains. Pada masa perang dunia II sains memberi kontribusi besar pada kematian umat manusia lewat penemuan senjata pemusnah masal. Sains juga kehilangan sifat netralnya karena pengembangan sains sangat tergantung dari pemilik modal. Sains berpihak kepada pemilik modal.

Sains bersifat humanistik yaitu manusia sebagai pusat dari segalanya. Ternyata pandangan ini malah menghancurkan manusia. Kemajuan sains seiring dengan kemajuan teknologi. Teknologi sangat menguntungkan manusia karena bersifat memudahkan. Teknologi membutuhkan sumber daya yang diambil dari alam dan teknologi juga menghasilkan limbah yang sulit diuraikan aoleh sistem alam. Eksploitasi sumber daya alam berlebih mengakibatkan keseimbangan lingkungan terganggu yang menjadikan Bumi rentan terhadap bencana. Limbah hasil industri diketahui berbahaya bagi manusia, sehingga menimbulkan kanker yang membunuh jutaan manusia tiap tahunnya.

Sains hanya alat untuki mencapai sesuatu, namun dasar motivasi untuk mencapai suatu hal adalah hal yang berbeda. Akal budi lebih berperan untuk menentukan arah tujuan sains tersebut. Perkembangan dari sains seharusnya diikuti dengan perkembangan akal budi agar tercipta kehidupan manusia yang lebih baik.

0 komentar:

About Me

Foto Saya
Dunia Filsafat
Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Join

Site Info

Add to Google Reader or Homepage
Google Pagerank Powered by  MyPagerank.Net Subscribe in Bloglines